Sidang Lanjutan Perkara Pemalsuan Merek Sarung,Terdakwa Dituntut Dua Tahun

Kota Pekalongan – Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan pemalsuan merek sarung Gajah Duduk dengan terdakwa M Khanif, Direktur PT Pisma Abadi Jaya (PAJ), pada Rabu (7/6/2023).
Agenda sidang yang dipimpin Hakim Ketua Salman Alfarasi kali ini adalah pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Pada sidang yang digelar secara hybryd ini, yang mana Terdakwa mengikuti sidang secara online dari Rutan Pekalongan, JPU dari Kejari Kota Pekalongan menuntut Terdakwa M Khanif dengan hukuman pidana penjara selama dua tahun.
Tuntutan ini menurut JPU karena Terdakwa telah bersalah karena memalsukan merek Sarung Gajah Duduk. Sebagaimana dalam dakwaan yakni Pasal 100 ayat (1) UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
JPU menilai bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana pemalsuan merek, sehingga korban yakni PT Gajah Duduk mengalami potensi kerugian hingga Rp25 miliar.
"Menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama dua tahun dikurangi masa tahanan selama terdakwa ditahan," kata JPU Maziyah SH.
Sebelum membacakan tuntutannya, JPU menerangkan berbagai analisa yuridis. Termasuk menyampaikan tentang hasil pemeriksaan para saksi dan saksi ahli di persidangan. Juga menyebutkan tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. "Hal yang meringankan, yakni terdakwa belum pernah dihukum," kata JPU.
Sidang akan dilanjutkan pada Jumat (9/6/2023) dengan agenda pembelaan atau pledoi dari PH Terdakwa.
Dalam agenda sidang sebelumnya, Senin (5/6/2023), agenda sidang adalah meminta keterangan Saksi Ahli a de charge yang dihadirkan PH Terdakwa.
Saksi Ahli yang dihadirkan adalah Dr. Sholehuddin, S.H., M.H., seorang Ahli Hukum Pidana dari Universitas Bhayangkara.
Dalam keterangannya, Ahli menjelaskan tentang Pasal 100 ayat (1) UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pasal inilah yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Terdakwa pada perkara ini, dengan Subsidair Pasal 100 ayat (2).
Menurut Sholehuddin, pengenaan pasal tersebut terlebih dahulu harus memenuhi unsur deliknya terlebih dahulu. Yakni, terkait dengan hak terhadap merek. "Delik intinya itu tanpa hak, maka ini yang harus dibuktikan terlebih dulu," kata Sholehuddin.
Dia menjelaskan pula bahwa pasal tersebut merupakan delik aduan. Dalam ketentuan hukum, delik aduan bersifat khusus yakni laporan tindak pidana hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Jika perorangan, maka orang yang merasa dirugikanlah yang melakukan pengaduan. Sedangkan jika perusahaan atau PT, maka harus pihak yang bertanggung jawab di perusahaan atau PT dimaksud.
Selain itu, delik aduan memiliki masa kedaluwarsa. Sedangkan menurut Pasal 74 ayat (2) KUHP, masa kedaluwarsa untuk mengajukan pengaduan adalah enam bulan setelah seseorang yang berhak mengadu tersebut mengetahui perbuatan sudah dilakukan, dalam hal ini jika ia berada di Indonesia.
Dalam keterangannya, Saksi Ahli menjelaskan pula bahwa hak terhadap merek dapat dialihkan ke orang lain, misal melalui pewarisan, wakaf, hibah, maupun jual beli. Jika peralihannya berdasar perjanjian jual beli, maka diatur menggunakan hukum perdata, dan syarat sahnya jual beli harus terpenuhi.
Usai sidang, PH Terdakwa, Suryono Pane, mengatakan dengan adanya keterangan Saksi Ahli Hukum Pidana itu sudah membuat perkara tersebut semakin terang benderang.
Pertama adalah mengenai perkara tersebut yang merupakan delik aduan.
Karena delik aduan maka yang bisa mengadukan atau melaporkan langsung adalah pihak yang merasa dirugikan. Kalau perusahaan, maka pemilik atau direktur utama. Sedangkan pada perkara yang dihadapi kliennya, pelapor adalah marketing yang mendapat surat tugas dari manajer.
Pane juga menyebutkan kalau perkara yang diadukan itu sudah kedaluwarsa. Mengingat, perkara tersebut adalah delik aduan.
"Bahwa dalam bukti yang diajukan JPU, ada bukti kuitansi pembelian tanggal 24 Maret 2022. Jadi di tanggal tersebut sudah tahu. Tetapi dia baru melaporkannya di bulan Januari 2023, artinya sudah kedaluwarsa," imbuh Pane.
Antara PT PAJ dengan PT Gajah Duduk sebelumnya pada tahun 2018 telah ada perjanjian Goodwill. PT PAJ membeli saham dari Gajah Duduk senilai kurang lebih Rp1,5 miliar dengan persentase kepemilikan mencapai 60 persen, dan pembelian merek sarung Gajah Duduk senilai kurang lebih Rp138 miliar.
Kemudian pada 2021, saham yang tadinya dibeli PT PAJ itu sudah dijual. Meski menjual saham, PT PAJ menyatakan tidak pernah menjual hak merek sarung Gajah Duduk yang pada 2018 telah dibelinya.
Menurut pihak PT Gajah Duduk, perjanjian dengan PT PAJ tersebut telah berakhir pada 2021, dan hak merek terdaftar di HAKI adalah pada PT Gajah Duduk. Sedangkan, PT PAJ menyatakan kalau pihaknyalah yang berhak atas kepemilikan merek sarung tersebut. (Seiv/BatikTV)
Agenda sidang yang dipimpin Hakim Ketua Salman Alfarasi kali ini adalah pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Pada sidang yang digelar secara hybryd ini, yang mana Terdakwa mengikuti sidang secara online dari Rutan Pekalongan, JPU dari Kejari Kota Pekalongan menuntut Terdakwa M Khanif dengan hukuman pidana penjara selama dua tahun.
Tuntutan ini menurut JPU karena Terdakwa telah bersalah karena memalsukan merek Sarung Gajah Duduk. Sebagaimana dalam dakwaan yakni Pasal 100 ayat (1) UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
JPU menilai bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana pemalsuan merek, sehingga korban yakni PT Gajah Duduk mengalami potensi kerugian hingga Rp25 miliar.
"Menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama dua tahun dikurangi masa tahanan selama terdakwa ditahan," kata JPU Maziyah SH.
Sebelum membacakan tuntutannya, JPU menerangkan berbagai analisa yuridis. Termasuk menyampaikan tentang hasil pemeriksaan para saksi dan saksi ahli di persidangan. Juga menyebutkan tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. "Hal yang meringankan, yakni terdakwa belum pernah dihukum," kata JPU.
Sidang akan dilanjutkan pada Jumat (9/6/2023) dengan agenda pembelaan atau pledoi dari PH Terdakwa.
Dalam agenda sidang sebelumnya, Senin (5/6/2023), agenda sidang adalah meminta keterangan Saksi Ahli a de charge yang dihadirkan PH Terdakwa.
Saksi Ahli yang dihadirkan adalah Dr. Sholehuddin, S.H., M.H., seorang Ahli Hukum Pidana dari Universitas Bhayangkara.
Dalam keterangannya, Ahli menjelaskan tentang Pasal 100 ayat (1) UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pasal inilah yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Terdakwa pada perkara ini, dengan Subsidair Pasal 100 ayat (2).
Menurut Sholehuddin, pengenaan pasal tersebut terlebih dahulu harus memenuhi unsur deliknya terlebih dahulu. Yakni, terkait dengan hak terhadap merek. "Delik intinya itu tanpa hak, maka ini yang harus dibuktikan terlebih dulu," kata Sholehuddin.
Dia menjelaskan pula bahwa pasal tersebut merupakan delik aduan. Dalam ketentuan hukum, delik aduan bersifat khusus yakni laporan tindak pidana hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Jika perorangan, maka orang yang merasa dirugikanlah yang melakukan pengaduan. Sedangkan jika perusahaan atau PT, maka harus pihak yang bertanggung jawab di perusahaan atau PT dimaksud.
Selain itu, delik aduan memiliki masa kedaluwarsa. Sedangkan menurut Pasal 74 ayat (2) KUHP, masa kedaluwarsa untuk mengajukan pengaduan adalah enam bulan setelah seseorang yang berhak mengadu tersebut mengetahui perbuatan sudah dilakukan, dalam hal ini jika ia berada di Indonesia.
Dalam keterangannya, Saksi Ahli menjelaskan pula bahwa hak terhadap merek dapat dialihkan ke orang lain, misal melalui pewarisan, wakaf, hibah, maupun jual beli. Jika peralihannya berdasar perjanjian jual beli, maka diatur menggunakan hukum perdata, dan syarat sahnya jual beli harus terpenuhi.
Usai sidang, PH Terdakwa, Suryono Pane, mengatakan dengan adanya keterangan Saksi Ahli Hukum Pidana itu sudah membuat perkara tersebut semakin terang benderang.
Pertama adalah mengenai perkara tersebut yang merupakan delik aduan.
Karena delik aduan maka yang bisa mengadukan atau melaporkan langsung adalah pihak yang merasa dirugikan. Kalau perusahaan, maka pemilik atau direktur utama. Sedangkan pada perkara yang dihadapi kliennya, pelapor adalah marketing yang mendapat surat tugas dari manajer.
Pane juga menyebutkan kalau perkara yang diadukan itu sudah kedaluwarsa. Mengingat, perkara tersebut adalah delik aduan.
"Bahwa dalam bukti yang diajukan JPU, ada bukti kuitansi pembelian tanggal 24 Maret 2022. Jadi di tanggal tersebut sudah tahu. Tetapi dia baru melaporkannya di bulan Januari 2023, artinya sudah kedaluwarsa," imbuh Pane.
Antara PT PAJ dengan PT Gajah Duduk sebelumnya pada tahun 2018 telah ada perjanjian Goodwill. PT PAJ membeli saham dari Gajah Duduk senilai kurang lebih Rp1,5 miliar dengan persentase kepemilikan mencapai 60 persen, dan pembelian merek sarung Gajah Duduk senilai kurang lebih Rp138 miliar.
Kemudian pada 2021, saham yang tadinya dibeli PT PAJ itu sudah dijual. Meski menjual saham, PT PAJ menyatakan tidak pernah menjual hak merek sarung Gajah Duduk yang pada 2018 telah dibelinya.
Menurut pihak PT Gajah Duduk, perjanjian dengan PT PAJ tersebut telah berakhir pada 2021, dan hak merek terdaftar di HAKI adalah pada PT Gajah Duduk. Sedangkan, PT PAJ menyatakan kalau pihaknyalah yang berhak atas kepemilikan merek sarung tersebut. (Seiv/BatikTV)